GUr5GSz7GSr9TpriTpA6BSdi

#MimpiAnakDesa [Bagian-1] Pak Budi dan Si Evi

 


#MimpiAnakDesa [Bagian-1]
Pak Budi dan Si Evi

Rupanya suasana berisik teman di baris paling barat penyebabnya adalah siswa cowo yang ingin mengoreksi kertas ulanganya Evi Hidayati, si Bunga Sekolah.

Penulis: Karnoto | Foto: Risna

Kebiasaan Pak Budi, guru matematika suka bikin sport jantung kita karena suka ngasih ulangan dadakan. Buat Si Kun yang sel otaknya dipenuhi rumus dan angka tidak bermasalah, tapi buat saya yang isi otaknya jalan-jalan, nongkrong, lari- lari ke kebun tebu dan layang-layang di pematang sawah, jelas jadi masalah besar.

"Saya tuh kalau pelajaran Pak Budi keringat dingin, jantungnya seperti abis lari marathon. Dag Dig dug," kata saya ke temen satu meja.

Dengar namanya saja fikirannya sudah healing horor seperti lagi main di rumah angker di pasar malam. "Selamat sore anak - anak," kata Pak Budi.

"Sore Pak," jawab kami sekelas. Wajahnya jarang senyum apalagi becanda dengan siswa khsusunya siswa seperti saya, orang sosial tulen yang matematikanya paling tinggi enam.

Beruntung kelas saya yaitu Tiga B ada di pinggir lorong yang menghubungkan tempat parkir sepeda dengan halaman utama sekolah jadi tidak hening. Selalu ada suara yang terdengar, terkadang bunyi besi sepeda yang beradu dari siswa yang mau pulang.

Suara adu mekanik dari besi sepeda suka terdengar seperti menghibur suasana batin saya yang lagi di tepi jurang.

"Sekarang kita koreksi ulangan Minggu kemarin," kata Pak Budi. Jadi kebiasaan di sekolah kami, kalau ulangan biasanya kita koreksi bareng teman di kelas cuma tidak boleh memegang nama kita sendiri.

"Selamet, selamet," batin saya mendengar ucapan Pak Budi walaupun itu cuma sementara. Karena kalau hasil ulangan setelah dikoreksi mendapatkan angka lima apalagi dibawah lima maka itu artinya mala petaka besar.

Pilihanya cuma tiga, mau ditutuk jidatnya dengan penggaris, dicabut beberapa helai rambut di bagian jampangnya atau disabet telapak tangannya pakai penggaris kayu ukuran satu meter.

Ada alternatif yang lebih santai yaitu lari mengelilingi halaman sekolah tiga kali. Itu semua sebagai risiko untuk menambah nilai agar yang dapat lima menjadi enam.

Mungkin kalau Pak Budi mengajar di zaman sekarang sudah di laporkan orangtua. Cuma dulu itu sudah biasa jadi tidak dipersoalkan. Kami menganggap itu suatu kewajaran.

Pak Budi sebenarnya masih level sedang karena penggaris kayunya beli di toko alat sekolah jadi tipis, penggaris standar. Ada guru lain penggaris kayu  karya sendiri yang kayunya lebih tebal, ukuranya satu meter.

Pak Trisno namanya, mengajar Keterampilan Jasa, yaitu belajar mengetik dengan mesin tik. Dulu tidak ada komputer jadi pakainya mesin tik. Kalau posisi kaki kita salah saat mengetik maka siap-siap dengkul kita kena sasaran penggaris legendaris Pak Trisno.

Atau misalkan kita ngetik dengan 11 jari yang seharusnya 10 jari maka jadi musibah karena jari kita dipastikan akan kena sabetan penggaris warna cokelat kusam yang legendaris itu.

Tapi gara-gara pelajaran ini saya bisa mengetik cepat karena menggunakan 10 jari, yaitu teknik mengetik dengan posisi  jari  standby di angka masing-masing, A,S,D,F,G,H, itu diantara huruf yang jadi terminal jari - jari kita ketika mengetik.

Jadi tidak boleh jari kanan mengetik huruf A,S,D, Q dan huruf lain yang ada di sebelah kiri keyboard. Kalau sampai nyebrang dan Pak Trisno tahu bahaya menanti.

Dan jangan coba-coba ngantuk saat pelajaranya dia, karena penggaris tebal satu meter itu akan meluncur ke arah kita. Itu sudah terjadi berulang kali, untungnya saya selamat tidak pernah kena penggaris terbang Pak Trisno.

Kertas Ulangan Jadi Rebutan
Seperti biasa setiap koreksi ulangan ketua kelas mengambil tumpukan kertas di meja Pak Budi. Mejanya kecil, diatasnya taplak kain bermotif bunga yang itu hasil karya kita saat pelajaran tata busana.

Jadi dulu di SMP ada beberapa pelajaran praktik selain fisika, kimia, biologi, yaitu keterampilan. Tata Boga, kita diajarkan teknik memasak, tata busana kita diajarkan cara matchingkan pakaian, menyulam dengan 12 jenis tusuk. 

Saya masih ingat beberapa, ada tusuk jari, ada tusuk delapan, tusuk silang. Jadi kita tuh bisa menyulam, tanpa terkecuali apakah siswa laki atau perempuan.

"Awas ya kalau ada yang dapat kertas nama sendiri bilang biar dituker," kata ketua kelas. Di tengah pembagian kertas ulangan suasana menjadi riuh di barisan sebelah barat.

Kelas kami terbagi empat baris dan saya dapat duduk baris ketiga di bagian timur. Di depan saya duduk. Evi Hidayati, dia mayoret dan jadi bunga desa di sekolah.

Suasana berisik membuat Pak Budi berdiri dan melirik dengan tatapan tajam. Dia melepas kacamatanya dan mengeluarkan dua kata tapi itu kode keras jangan sampai diulangi.

"Jangan berisik," kata Pak Budi. Seketika ruang kelas hening dan fokus ke kertas yang didapatkan untuk dikoreksi bersama.

Rupanya suasana berisik teman di baris paling barat penyebabnya adalah siswa cowo yang ingin mengoreksi kertas ulanganya Evi Hidayati, si Bunga Sekolah.

"Oow, dih kertas saja pada ribut. Saya yang duduknya di belakangnya dia aja biasa saja," kata saya ke Si Kun, temen sekolah yang sejak di sekolah dasar jadi sahabat saya.

Kabar penyebab ramainya detik -detik menjelang koreksi ulangan juga didengar oleh Evi. Buat dia tidak asing lagi karena sudah terbiasa dengan suasana seperti itu.

" Biasa, padahal biasa saja saya juga," kata dia pas saya bilang ke dia soal "kerusuhan" itu. Saya tidak begitu akrab sebenarnya dengan dia cuma memang tahu dan ada bahan obrolan karena kakaknya dia mengajar di sekolah dasar di kampung saya.

Meski saya tidak pernah diajar oleh kakaknya tapi kita suka ngobrol soal itu. "Kamu pernah diajar ga sama Kaka saya pas SD," tanya Evi suatu ketika saat istirahat.

Ga pernah, kan kakak kamu ngajar di SD  dua, saya kan SD satu," kata saya ke dia.

"Oow beda sekolah, saya kira satu sekolah," kata Evi menimpali jawaban saya. Sekali pernah mampir ke rumah dia, tapi waktu itu diajak teman saya yang kebetulan tetangganya dia. Dan biasa saja, sekadar membenarkan kalau dia cantik iya. Dan wajar sih namanya juga mayoret.

Adatnya di sekolah pada umumnya,  mayoret pasti dipilih yang cantik, bukan yang pinter. Anaknya juga sebenarnya baik, tidak merasa kemayu, mau bergaul dengan siapa saja. Cuma terkadang banyak siswa yang minder duluan kalau ketemu dia.

Makanya pas dia cerita di kelas kalau saya pernah main ke rumah ya pada kaget dan heran. Padahal saya juga main ga sengaja, ga ada niat pas kebetulan saja, temen yang jadi tetangganya ngajak main ke rumah dia.

"To, tot, tot," bunyi bel yang artinya itu jam pulang.

"Ayoo segera dikumpulkan," kata Pak Budi dan segera kertas yang telah dikoreksi dikumpulkam di meja Pak Budi.

Jadi, meski yang mengoreksi temen sekelas kita jangan berfikiran kita bisa kongkalikong yang salah dibetulkan. 

Waktu itu kreatifitas siswa SMP tidak sekreatif anak anak sekarang. Dipastikan kertas dikoreksi sebagaimana adanya, salah yang disilang kalau benar ya dicentang.

Setelah dikumpulkan semua kertas ulangan Pak Budi pun pamitan dan mengakhiri pelajaran hari itu."Alhamdulillah hari ini bisa nafas panjang, ha ha ha ha," kata saya ke temen temen. *****

Penulis,
Karnoto

Type above and press Enter to search.